Hal-hal
yang diwajibkan dalam haji
1.Ihram dari Miqot
Kata ihram diambil dari
bahasa arab dari Al-haram yang bermakna terlarang atau tercegah,
dinamakan hal tersebut dengan ihram karena seseorang dengan niatnya
masuk kepada kehormatan ibadah haji, maka dia dilarang berkata dan beramal
dengan hal-hal tertentu seperti jima’, menikah, berucap ucapan kotor dan
lain-sebagainya. Sehingga dapat diambil satu definisi syar’i bahwa ihram adalah
salah satu niat dari dua nusuk (yaitu haji dan umrah) atau kedua-duanya
secara bersamaan 1, dari sini jelas terpahami sebagai
suatu kesalahan apa yang telah dipahami sebagian kaum muslimin bahwa ihram
adalah berpakaian dengan kain ihram karena ihram adalah niat masuk kedalam haji
atau umrah, sedangkan berpakaian dengan kain ihram hanya merupakan satu
keharusan bagi seorang yang telah berihram .
Dan melakukan ihram dari miqat
merupakan satu kewajiban dari hal-hal yang wajib dilakukan oleh seorang yang
ingin menunaikan haji atau umrah adalah pengambilan miqat sebagai tempat
berihram sehingga mereka yang tidak berihram dari miqat berarti meninggalkan
suatu kewajiban dalam haji dan wajib atas mereka untuk menggantinya dengan Dam
(denda).
Adapun cara berihram , maka seorang
yang telah berketetapan untuk haji atau umrah maka disunnahkan baginya untuk
mencontoh Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam dalam melakukan hal-hal
yang berhubungan dengan amalannya sebagaimana yang telah ditunjukkan oleh
hadits-hadits yang shahih .
Adapun cara-caranya adalah :
1. Disunnahkan untuk mandi sebelum
ihram bagi laki-laki dan perempuan baik dalam keadaaan suci atau haidh,
sebagaimana yang diriwayatkan oleh Jabir Radhiallahu’anhu, beliau
berkata:
فخرجنا
معه حتى أتينا ذا الحليفة فولدت أسماء بنت عميس محمد بن أبي بكر فأرسلت الىرسول
الله r كيف أصنع؟ قال : اغتسلي واستثفري
بثوب واحرمي (رواه مسلم)
“Lalu kami keluar bersamanya
Shallallahu’alaihi Wasallam lalu
tatkala sampai Dzul hulaifah Asma binti ‘Umais melahirkan Muhammad bin Abi
Bakr, maka ia (Asma) mengutus (seseorang untuk bertemu) kepada Rasulullah
Shallallahu’alaihi Wasallam (dan berkata): ‘Apa yang aku kerjakan? maka beliau
Shallallahu’alaihi Wasallam menjawab: “Mandilah dan beristitsfarlah 2 dan berihramlah.” (Riwayat
Muslim (2941) 8/404, Abu Daud no. 1905 dan 1909, dan Ibnu Majah no.3074.)
Apabila tidak mendapatkan air maka
tidak ber-tayammum karena bersuci yang disunnahkan, apabila tidak dapat
menggunakan air maka tidak bertayamum karena Allah menyebutkan tayamum dalam
bersuci dari hadats sebagai firman-Nya:
يا
أيها الذين ءامنوا اذا قمتم الى الصلوة فاغسلوا وجوهكم وايديكم الى المرافق وامسحو
برؤوسكم وارجلكم إلى الكعبين وان كنتم جنبًا فاطهروا وان كنتم مرضى أو على سفر أو
جاء أحدمنكم أو الغائط أو لمستم النساء فلم تجد ماء فتيمموا صعيدًا طيبًا
“Hai orang-orang yang beriman,
apabila kamu hendak mengerjakan shalat, maka basuhlah mukamu dan tanganmu
sampai dengan siku, dan sapulah kepalamu dan (basuh) kakimu sampai dengan kedua
mata kaki, dan jika kamu junub maka mandilah, dan jika kamu sakit atau dalam
perjalanan atau kembali dari tempat buang air (kakus) atau menyentuh perempuan,
lalu kamu tidak memperoleh air, maka bertayamumlah dengan tanah yang baik
(bersih); “(QS.Al Maidah :6)
maka tidak bisa dianalogikan
(di-qiyas-kan) kepada yang lainnya,dan juga tidak ada contoh atau perintah dari
Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam untuk ber-tayammum, apalagi kalau mandi
ihram tersebut adalah untuk kebersihan dengan dalil perintah beliau kepada Asma
bintu Umais yang sedang haidh untuk mandi tersebut.
2. Disunnahkan untuk memakai minyak
wangi ketika ihram
sebagaimana yang dikatakan Aisyah:
كنت
أطيب النبي لاحرامه قبل ان يحرم و لحله قبل أن يطوف بالبيت.
“Aku memakaikan nabi wangi-wangian
untuk ihramnya sebelum berihram dan ketika halalnya sebelum thawaf di Ka’bah” (HR, Bukhory no.1539 dan Muslim no. 1189).
Dan hanya diperbolehkan pada anggota
badan dan bukan pada pakaian ihramnya karena Rasulullah Shallallahu’alaihi
Wasallam bersabda:
لا
تلبسوا ثوبا مسه الزعفران و لا الورس
“Janganlah kalian memakai pakaian
yang terkena minyak wangi za’faran dan wars.”(Muttafaqun alaih).
Memakai minyak wangi ini ada dua
keadaan:
1. Memakainya sebelum mandi dan
berihram,dan ini sepakat tidak ada permasalahan
2. Memakainya setelah mandi dan
sebelum berihram dan minyak wangi tersebut tidak hilang, maka ini dibolehkan
oleh para ulama kecuali Imam Malik dan orang-orang yang sependapat dengan
pendapatnya.
Dalil pembolehannya adalah hadits
Aisyah, beliau berkata:
كان
رسول الله r اذا اراد أن يحرم يتطيب بأطيب ما يجد
ثم أرى وبيص الدهن في رأسه و لحيته بعد ذلك رواه مسلم
“Rasulullah Shallallahu’alaihi
Wasallam kalau ingin berihram memakai wangi- wangian yang paling wangi yang
beliau dapatkan kemudian aku melihat kilatan minyak di kepalanya dan jenggotnya
setelah itu”.(HR.Muslim no.2830 ).
Dan Aisyah berkata pula:
كأني
أنظر الى وبيص المسك في مفرق رسول الله r و هو محرم
“Seakan akan aku melihat kilatan
misk (minyak wangi misk) di bagian kepala Rasulullah Shallallahu’alaihi
Wasallam sedangkan beliau dan keadaan ihram “.
(HR. Muslim no. 2831 dan Bukhory no. 5923).
Masalah: Apabila seseorang memakai
wangi- wangian di badannya yaitu di kepala dan jenggotnya, lalu minyak wangi
tersebut menetes atau meleleh ke bawah, apakah hal ini mempengaruhi atau tidak?
Jawab: Tidak mempengaruhi , karena
perpindahan minyak wangi tersebut dengan sendirinya dan tidak dipindahkan, dan
juga karena tampak pada Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam dan sahabatnya
tidak menghiraukan kalau minyak wangi tersebut menetes karena mereka memakainya
pada keadaan yang dibolehkan
Kemudian jika seorang yang berihram
(muhrim) akan berwudhu dan dia telah mamakai minyak rambut yang wangi, maka
tentu akan mengusap kepalanya dengan kedua telapak tangannya, jika dia lakukan
maka akan menempelah minyak tersebut ke kedua telapak tangannya walaupun hanya
sedikit, maka apakah perlu memakai kaos tangan ketika akan mengusap kepala
tersebut?
Maka masalah ini dijawab oleh Syaikh
Muhammad Shalih Al-Utsaimin dengan mengatakan: “Tidak perlu, bahkan hal itu
merupakan berlebih-lebihan dalam agama dan tidak ada dalilnya demikian juga
tidak mengusap kepalanya dengan kayu atau kulit, cukup dia mengusapnya dengan
telapak tangannya karena ini termaasuk yang dimaafkan:.
3. Mengenakan dua helai kain putih
yang dijadikan sebagai sarung (izar) dan selendang (rida’),
sebagaimana Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam
:
ليحرم
أحدكم فى إزار و رداء و نعلين
“Hendaklah salah seorang dari
kalian berihram dengan menggunakan sarung dan selendang serta sepasang sandal.”(H.
R Ahmad 2/34 dan dishahihkan sanadnya oleh Syaikh Ahmad Syakir)
dan diutamakan yang berwarna putih
berdasarkan sabda Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam:
حير
ثيابكم البياض فالبسوها وكفنوا فبها موتكم
“Sebaik-baik pakaian kalian
adalah yang putih, maka kenakanlah dia dan kafanilah mayat kalian padanya”
(H.R Ahmad lihat syarahahmadsyakir 4/2219 dan berkata isnadnyaa shahih)
Berkata Ibnu Taimiyah dalam kitab Manasik
(hal. 21): “Dan disunnahkan untuk berihram dengan dua kain yang bersih, maka
kalau keduanya berwarna putih maka itu lebih utama dan di bolehkan ihram dengan
segala jenis kain yang dibolehkan dari katun shuf (bulu domba) dan lain
sebagainya. Dan dibolehkan berihram dengan kain putih dan yang tidak putih dari
warna-warna yang diperbolehkan, walaupun berwarna-warni”.5
Sedangkan bagi wanita tetap memakai
pakaian wanita yang menutup semua auratnya, kecuali wajah dan telapak tangan.
4. Disunahkan berihram setelah
shalat.
sebagaimana dalam hadits Ibnu Umar
Radhiallahu’anhuma dalam shahih Bukhary bahwa Rasulullah Shallallahu’alaihi
Wasallambersabda:
أتاني
الليلة آت من ربي فقال : صل فى هذا الوادى المبارك وقل عمرةً فى حجة
“Telah datang tadi malam utusan dari
Rabbku lalu berkata: “Shalatlah di Wadi yang diberkahi ini dan katakan: Umrotan
fi hajjatin.”
Dan hadits Jabir:
فصلى
رسول الله r في المسجد ثم ركب القصواء حتى اذا
استوت به ناقته على البيداء أهل بالحج
“Lalu Rasulullah Shallallahu’alaihi
Wasallam Shalat di masjid (Dzulhulaifah) kemudian menunggangi Al Qaswa’ (nama
onta beliau) sampai ketika ontanya berdiri di al-Baida’ berihram untuk haji”. (HR.Muslim).
Maka yang sesuai dengan sunnah,
lebih utama dan sempurna adalah berihram setelah shalat fardhu. Akan
tetapi apabila tidak mendapatkan waktu shalat fardhu maka terdapat dua pendapat
dari para ulama:
a. Tetap disunnahkan shalat dua
rakaat dan ini pendapat jumhur berdalil dengan keumuman hadits Ibnu Umar Radhiallahu’anhuma:
صل
في هذا الوادي
“Shalatlah di Wadi ini”
b. Tidak disyariatkan shalat dua
rakaat dan ini pendapat syaikhul islam Ibnu Taimyah. Sebagaimana beliau katakan
dalam Majmu’ Fatawa 26/108: “Disunnahkan berihram setelah shalat baik
fardhu maupun sunnah. Kalau ia berada pada waktu tathawu’ menurut salah
satu dari dua pendapatnya dan yang lain kalau dia shalat fardhu maka berihram
setelahnya dan jika tidak maka tidak ada bagi ihram shalat yang khusus dan ini
yang rajih.”
Dan berkata didalam Al Ikhtiyarat
(hal. 116): “Dan berihram setelah shalat fardhu kalau ada atau sunnah (nafilah)
karena ihram tidak memiliki shalat yang khusus untuknya”.
Demikianlah tidak ada shalat dua
rakaat khusus untuk ihram.
5. Berniat untuk melaksanakan salah
satu manasik dan disunnahkan untuk diucapkan dan dibolehkan untuk memilih salah
satu dari tiga nusuk yaitu ifrad, qiran dan tamatu’
sebagaimana yang dikatakan Aisyah:
خرجنا
مع رسول الله r
عام حجة الوداع فمنا من اهل بعمرة و منا من اهل بحج و عمرة و منا من اهل بحج و أهل
رسول الله فا ما من أهل بعمرة فحل عنه قدوصه و اما من اهل بحج أو جمع بين الحج
والعمرة فلم يحلوا حتى كان يوم النحر (متفق عليه)
“Kami telah keluar bersama
Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam pada tahun haji wada’ maka ada diantara
kami yang berihram dengan umrah dan ada yang berihram dengan haji dan umrah dan
ada yang berihram dengan haji saja, sedangkan Rasulullah Shallallahu’alaihi
Wasallam berihram dengan haji saja, adapun yang berihram dengan umrah maka dia
halal setelah datangnya*(*)
dan yang berihram dengan haji atau yang menyempurnakan haji dan umrah tidak
halal (lepas dari ihramnya) sampai dia berada dihari nahar(**)
Maka seorang yang ber-manasik ifrad
mengatakan:
لبيك
حجا atau لبيك اللهم حجا
dan seorang yang bermanasik tamatu’
mengatakan:
لبيك
عمرة atau لبيك اللهم عمرة
dan ketika hari tarwiyah (8
Dzulhijah) menyatakan:
لبيك
حجا atau لبيك اللهم حجا
dan sunnah yang ber-manasik Qiran
menyatakan:
لبيك عمرة و حجا
6. Ber-talbiyah
, yaitu membaca:
لبيك
اللهم لبيك لبيك لا شريك لك لبيك إن الحمد ونعمة لك والملك لا شريك لك
Labbaika Allahumma labbaik labbaika
laa syariika laka labbaik Innal hamda wani’mata laka wal mulk laa syariikaa
laka, dan yang sejenisnya.
6.1. Waktu Talbiyyah
Waktu talbiyah adalah dimulai
setelah berihram ketika akan melakukan perjalanan, sebagaimana yang dilakukan
oleh Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam dalam hajinya, berkata Jabir
Radhiallahu’anhu :
حتى
إذا استوت به ناقته على البيداء أهل بالحج فأهل بالتوحيد لبيك اللهم لبيك ……
“Rasulullah Shallallahu’alaihi
Wasallam mulai membaca talbiyah ketika telah tegak ontanya di al-Baida beliau
ihlal (ihram) dengan haji lalu bertalbiyah dengan tauhid, labbaika allahumma
labaik ……” (H.R Muslim)
6.2. Bacaan Talbiyah
Adapun bacaan talbiyah yang ma’tsur
dalam hadits-hadits Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam adalah:
a.لبيك اللهم لبيك لبيك لا شريك لك
لبيك إن الجمد ونعمة لك والملك لا شريك لك 6
b. لبيك لبيك و سعديك و الخير
بيدك و الرغباء إليك و العمل (متفق عليه من تلبية ابن عمر)
c. لبيك اللهم لبيك لبيك لا شريك
لك لبيك إن الجمد ونعمة لك (عن عائشة رواه البخارى)
d. Talbiyah yang poin “a” namun
ditambah kalimat:
لبيك
ذا المعارج لبيك ذا الفواضل (حديث جابر رواه مسلم)
6.3. Sebab dan maknanya
Sebab disyariatkannya talbiyah
adalah dalam rangka menjawab panggilan Allah Ta’ala. Sebagaimana dalam
al-Qur’an surah al-Hajj ayat 27.
“Dan berserulah kepada manusia untuk
mengerjakan haji,niscaya mereka akan datang kepadamudengan berjalan kaki,dan
mengendarai unta yang kurus yang datang dari segenap penjuru yang jauh.’ (QS. al-Hajj 22:27)
Berkata Ibnu Abbas Radhiallahu’anhu
dalam menafsirkan firman Allah Ta’ala ini : “Ketika Allah Ta’ala memerintahkan
Ibrahim ‘Alaihissalam untuk mengkhabarkan manusia agar berhajji, dia
berkata:
يا
أيها الناس إن ربكم اتحذ بيتًا و أمركم أن تحجوه فاستجاب له ما سمعه من حجر أو شجر
أو أكمة أو تراب أو شيئ فقالوا لبيك اللهم لبيك (رواه ابن جرير 17\106)
“Wahai manusia sesungguhnya Rabb
kalian telah membangun satu rumah (ka’bah) dan memerintahkan kalian untuk
berhaji kepadanya. Lalu beliau menerima panggilan ini apa saja yang
mendengarnya dari batu-batuan, pepohonan, bukit-bukit debu atau apasaja yang
ada, lalu mereka berkata لبيك اللهم
لبيك …… (H.R Ibnu Jarir 17/106)
Berkata Ibnu Hajar ; ” Berkata Ibnu
Abdil Barr: ‘Telah berkata sejumlah dari sebagian dari Ulama’: “Makna Talbiyah
adalah jawaban panggilan Ibrahim ‘Alaihissalam ketika memberitahukan
manusia untuk berhaji””, 7
Adapun ma’na dari kata-kata dalam
talbiyah tersebut adalah :
(اللهم) :Wahai Allah
(لبيك) :Adalah penegas yang memiliki
ma’na baru (lebih), maka saya mengulang-ulang dan menegaskan bahwa saya
menjawab atau menerima panggilan Rabb saya dan tetap dalam keta’atan kepada-Nya
(لا شريك لك) :Berma’na tidak ada
satupun yang menyekutukan Engkau (Allah) dalam segala sesuatu
(لبيك) :Sebagagi penegas bahwa saya
menerima panggilan haji tersebut karena Allah, bukan karena pujian, ingin
terkenal, ingin harta, dan lain-lain, akan tetapi saya berhaji dan menerima
panggilan tersebut karena Engkau saja
(إن الحمد و النعمة لك والملك)
:Sesungguhnya saya berikrar dan mengimani bahwa semua pujian dan nikmat itu
hanyalah milik-Mu demikikan juga kekuasaan
(لا شريك لك) :Yang semua itu tidak
ada sekutu bagimu
Kalau kita melihat kepada ma’na
kata-kata yang ada dalam talbiyah tersebut didapatkan adanya penetapan tauhid
dan jenis-jenisnya sebagaimana yang dikatakan oleh Jabir (أهل بالتوحيد)
(Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam bertalbiyah dengan tauhid”) Dan hal
ini tampak kalau kita mentelaah dan memahami makna kata-kata tersebut, lihatlah
dalam kata-kata (لبيك اللهم لبيك لبيك لا شريك لك لبيك) terdapat peniadaan
kesyirikan dalam peribadatan, kemudian (لا شريك لك لبيك) terdapat tauhid
rububiyyah karena kita telah menetapkan kekuasaan yang mutlak hanya kepada
Allah Ta’ala semata, dan hal itupun mengharuskan seorang hamba untuk mengakui
terhadap tauhid uluhiyyah, karena iman kepada tauhid rububiyyah mengharuskan
iman kepada tauhid uluhiyyah, dan dalam kata (إن الحمد و النعمة لك) terdapat
penetapan sifat-sifat terpuji pada zat dan perbuatan Allah Ta’ala adalah hak
dan hal ini adalah merupakan tauhid asma’ dan sifat Allah Ta’ala.
Kalau demikian keharusan orang yang
bertalbiyah maka dia akan selalu merasakan keagungan Allah dan akan selalu
menyerahkan amal ibadahnya hanya untuk Allah semata bukan hanya sekedar
mengucapkan tanpa dapat merasakan hakikat dari talbiyah tersebut.
6.4. Cara membacanya
Talbiyah ini dibaca dengan
mengangkat suara bagi kaum laki-laki sebagaimana perintah Rasulullah Shallallahu’alaihi
Wasallam:
أتنى
جبريل فأمرنى أن آمر أصحابى أن يرفعوا أصواتهم بالتلبية
“Telah datang kepadaku jibril dan
dia memerintaahkan aku untk memerintahkan sahabat-sahabatku agar mengangkat
suara-suara mereka dalam bertalbiyah. “
Dan tidak disyari’atkan bertalbiyah
dengan berjamaah akan tetapi apabila terjadi kebersamaan dalam talbiyah tanpa
disengaja dan tidak dipimpin maka hal itu tidak mengapa karena Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wa sallam dan para shahabatnya bertalbiyah dalam satu waktu
padahal jumlah mereka sangat banyak maka hal tersebut sangat memungkinan untuk
terjadinya talbiyah dengan suara yang berbarengan, akan tetapi mengangkat suara
dalam talbiyah ini jangan sampai mengganggu dan menyakiti dirinya sendiri
sehingga dia tidak dapat terus bertakbir.
Sedangkan untuk wanita tidak
disunahkan mengangkat suara mereka bahkan mereka diharuskan untuk merendahkan
suara mereka dalam bertalbiyah.
6.5. Waktu Berhenti Talbiyah.
Terdapat perbedaan pendapat para
ulama dalam penentuan waktu berhenti talbiyah bagi orang yang berumroh atau
berhaji dengan tamatu’ menjadi beberapa pendapat :
1. Ketika masuk haram,dan ini
pendapat Ibnu Umar,Urwah dan Al Hasan serta mazdhab maliki,mereka berdalil
dengan hadits yang diriwayatkan oleh Bukhori dan An Nasaai yang lafadznya;
كان
ابن عمر إذا دخل ادني الحرم أمسك عن التلبية ثم يبيت بذي طى ويصلى به الصبح ويغتسل
ويحدث ان النبي r
كان يفعل ذلك
“Ibnu Umar ketika masuk pinggiran
haram menghentikan talbiyah kemudian menginap dzi thuwa dan beliau sholat
shubuh disana serta mandi dan beliau berkata bahwa Nabipun berbuat demikian”
2. Ketika melihat rumah-rumah penduduk
Makkah dan ini pendapat Said bin Al Musayyib
3. Ketika sampai ke Ka’bah dan
memulai thawaf dengan menyentuh (Istilam) hajar aswad dan ini pendapat
Ibnu Abbas, Atha’, Amr bin Maimun, Thawus, An-Nakha’i, Ats-Tsaury, Asy-Syafi’i,
Ahmad dan Ishaq serta mazdhab Hanafi. Berdalil dengan hadits Ibnu Abbas secara
marfu’:
كان
يمسك عن التلبية في العمرة إذا اتلم الحجر
“Dia menghentikan talbiyah dalam
umoh kalau telah menyentuh (istilam) hajar aswad” (HR Abu Daud,At Tirmidzy daan Al Baihaqy dan dilemahkan
oleh Al Albany dalam Irwa’ 4/297) dan juga hadits Amr bin Syu’aib dari bapaknya
dari kakeknya dengan lafazh:
اعتمر
رسول الله r ثلاثًا عمر كلها في ذي القعدة فلم
يزل يلبي حتى استلم الحجر
“Rasulullah Shallallahu’alaihi
Wasallam melakukan umrah tiga kali umrah seluruhnya di bulan dzul qa’dah dan
terus bertalbiyah sampai menyentuh (istilam) hajar aswad” (H.R Ahmad dan Baihaqi denan sanad yang lemah karena ada
Hajaaj bin Abdullah bin Arthah dan dilemahkan oleh AL-Albanny dala Irwa’ 4/297)
Dan mereka berkata : “Karena talbiyah
adalah memenuhi panggilan untuk ibadah maka dihentikan ketika memulai ibadah
yaitu thawaf”. Dan ini pendapat yang dirajihkan oleh Syaikul Islam dan
Ibnu Qudamah akan tetapi yang rajih adalah pendapat pertama karena penjelasan
dari Ibnu Umar bahwa Rasulullah juga melakukan hal itu,dan itu menunjukkan
bahwa Ibnu Umar berlaku demikian karena melihat Rasulullah telah melakukannya,
dan ini yang dirajihkan oleh Ibnu Khuzaimah.
Demikian juga pada haji terdapat
beberapa pendapat ulama;
1. Menghentikannya ketika berada di
Arafah setelah tergelincirnya matahari dan ini pendapat Aisyah, Sa’ad bin Abi
Waqash, Ali, Al-Auza’i, Al-hasan Al-bashry dan madzhab malikiyah. Berdalil
dengan hadits:
الحج
عرفة
“Haji itu adalah wuquf di Arafah”
Maka kalau telah sampai Arafah maka
akan habis pemenuhan panggilan karena telah sampai kepada inti dan rukun pokok
ibadah tersebut. akan tetapi dalil ini lemah karena bertentangan dengan riwayat
bahwa Raululloh masih bertalbiyah setelah tanggal 9 Dzuljhijjah tersebut.
2 Menghentikannya ketika melempar
jumroh aqobah dan ini pendapat jumhur ,akan tetapi mereka berselisih menjadi
dua pendapat;
a. Menghentikan di awal batu yang di
lempar dalam jumroh aqobah dan ini pendapat kebanyakan dari mereka, dengan
dalil hadits Al fadl bin Al Abbas
كنت
رديف النبي r من جمع إلى منى فلم يزل يلبي حتى رمى
جمرة العقبة (رواه الحماعة)
”Aku membonceng nabi dari Arafah
ke Mina dan teru meneru bertalbiyah sampi melempar jumroh Aqobah “(HR
jama’ah)
dan hadits Ibnu Mas’ud dengan
lafadz:
خرجت مع رسول الله r فما ترك التلبية حتى رمى جمرة العقبة إلا أن يخلطها بتكبير أو
تهليل.
“Aku berangkat bersama Rasulullah
dan beliau tidak mmeninggalkan talbiyah sampai beliau melempar jumrah Aqobah
agar tidak tercampur dengan tahlil atau takbir” (HR Thohawi dan Ahmad dan sanadnya dihasankan oleh Al Albani
dalam Irwa’, /2966).
Pendapat ini dirajihkan oleh Syakhul
Islam Inu Taimiyah dan beliau menyatakan: Dan secara ma’na, maka seorang yang
telah sampar Arafah- walaupun telah ampai pada tempat wuquf ini- maka dia masih
terpanggil setelahnya kepada tempat wukuf yang lainnya yaitu Muzdalifah dan
kalau dia telah wukuf di Muzdalifah maka dia terpanggil untuk melempar jumrah,
dan kalau telah mmemulai dalam melempar jumrah maka telah selesai panggilannya
(Majmu’ Fatawa 26/173)
b. Menghentikannya diakhir lemparan
dalam jumroh Aqobah dan ini pendapat Ahmad dan sebagian pengikut Syafi’i serta
dirojihkan oleh Ibnu Khuzaimah dengan dalil lafadz hadits Fadhl:
أفضت
مع النبي r من عرفة فلم يزل يلبي حتى رمى جمرة
العقبة يكبر مع كل حصاة ثم قطع التلبية مع آخر حصاة (رواه ابو خزيمة)
“Aku telah keluar bersama Nabi dari
Arafah lalu beliau terus bertalbiyah ampai melempar jumroh Aqobah, Beliau
bertakbir setiap lemparan batu, kemudian menghentikan talbiyah bersama akhir
batu yang dilempar” (HR Ibnu Khuzaimah dalam Shahih-nya
dan beliau berkata :” ini hadit hahih yang menafsirkan apa yang belum jelas
dalam riwayat- riwayat yang lain).
0 Comments