“DR Azahari telah
tewas!” Demikian salah satu
berita hangat di media massa beberapa waktu yang lalu. Nama DR. Azahari tidak
dapat dipisahkan dengan terorisme dan pengeboman, dia diyakini sebagai ahlinya
merakit bom. Begitu pula dunia internasional sebelumnya dikejutkan dengan
munculnya seseorang bernama Usamah bin Laden. Namun disini kita tidak akan
membahas tentang sepak terjang DR Azahari atau Usamah bin Laden. Dan yang
menjadi pertanyaan sekarang ialah: “Apakah aksi-aksi pengeboman ini memiliki
dasar syari’at ataukah semata-mata salah penafsiran terhadap dalil-dalil
syar’i, yang tentunya akan berdampak buruk baik bagi kaum muslimin dan manusia
secara umum?” Insya Allah di sini akan sedikit dibahas mengenai terorisme
dalam Islam dan bagaimanakah pemahaman salah yang mendasari tindakan ini.
Masalah ini sangat urgen dan harus diketahui umat, agar tidak tertipu dengan
pemahaman mereka atau bahkan merasa simpati dan ikut tertarik dengan pemikiran
mereka.
Awas Bahaya Laten
Khowarij !!!
Jika kita tilik ke
belakang, maka akan kita dapati bahwa pemahaman mereka ini bukanlah pemahaman
baru yang dipelopori oleh Azahari cs, namun pemahaman ini telah ada sejak dulu
dan akan berlangsung hingga hari kiamat. Kemudian diikuti pula oleh orang-orang
jahil yang sebetulnya punya semangat tinggi, tapi salah jalan.
Pemikiran ini sudah ada
sejak di masa Nabi Muhammad shollallahu ‘alaihi wa sallam. Suatu ketika
Nabi Muhammad shollallahu ‘alaihi wa sallam membagi ghonimah
(harta rampasan perang). Dalam pembagian tersebut ada yang mendapat bagian
banyak adapula yang sedikit, tentunya dengan kebijakan Nabi. Kemudian muncullah
seseorang yang bernama Dzulkhuwaishiroh, tidak terima dengan pembagian yang
dilakukan oleh Nabi dan mengatakan, “Berbuat adillah wahai Muhammad, karena
sesungguhnya ini adalah pembagian yang tidak ikhlas!” Maka Nabi bersabda, “Celaka
engkau, siapa lagi yang bisa berbuat adil jika saya saja sudah (dikatakan)
tidak adil. Sungguh celaka dan rugi saya jika saya tidak bisa berbuat adil.”
Tatkala itu Umar rodhiyallahu ‘anhu meminta izin pada Nabi untuk
memenggal leher orang tersebut. Maka Nabi bersabda, “Biarkan dia.
Sesungguhnya dia mempunyai pengikut yang menganggap kecil sholat kalian
dibanding sholat mereka, puasa kalian dibanding puasa mereka (Mereka adalah
ahli ibadah, -ed). Mereka membaca Alqur’an tetapi tidak sampai tenggorokan
mereka. Mereka telah keluar dari batas-batas agama seperti keluarnya anak panah
dari busurnya.” (HR. Bukhori 3610 dan Muslim 1064)
Kemudian paham ini
muncul dengan terang di masa kekholifahan Utsman bin Affan dan Ali bin Abi
Tholib rodhiyallahu ‘anhuma, yang berbuntut pada terbunuhnya kedua
kholifah tersebut. Pada masa Kekholifahan Ali bin Abi Tholib rodhiyallahu
‘anhu terjadi suatu peristiwa yang sangat besar berkaitan dengan kelompok
Khowarij ini. Ketika terjadi perselisihan antara Ali bin Abi Tholib dengan
Mu’awiyah, maka mereka berdua mengirim utusan masing-masing. Dan pasca Shulh
(perdamaian antara Khalifah Ali dan Mu’awiyah), sekelompok orang tidak setuju
dengan sikap beliau dan memisahkan diri, dan menetap di Haruro’ sehingga mereka
dikenal dengan Haruriyah. Mereka menganggap bahwa Kholifah Ali telah berhukum
dengan selain hukum Allah.
Setelah itu Ali mengutus
Ibnu Abbas rodhiyallahu ‘anhuma untuk berdialog dengan mereka. Diantara
isi dialognya adalah penentangan mereka terhadap Ali karena berhukum dengan
hukum manusia dimana beliau mengutus Abu Musa Al Asy’ari dan dari pihak Muawiyah
adalah Amr bin Ash untuk menyelesaikan perselisihan mereka. Para penentang ini
berdalil dengan firman Allah, “Sesungguhnya hukum hanya milik Allah.”
(QS. Al-An’am: 57). Maka Ibnu Abbas mengatakan, “Jika aku bacakan ayat dalam
kitab Allah yang membantah pendapat kalian, maukah kalian kembali?” Mereka
menjawab, “Ya”. Lantas Ibnu Abbas menyebutkan ayat, “Dan jika kamu
khawatirkan ada persengketaan antara keduanya maka kirimlah seorang hakam dari
keluarga laki-laki dan seorang hakam dari keluarga perempuan.” (QS.
Annisa’: 35). Akhirnya dua ribu orang sadar dan kembali ke pangkuan
kekholifahan Ali bin Abi Tholib rodhiyallahu ‘anhu.
Khowarij ini akan tetap
ada sampai akhir zaman. Rasulullah shollallahu ‘alaihi wassalam
bersabda, “Akan muncul satu generasi yang membaca Al Quran namun tidak
memahaminya. Setiap kali berlalu satu kurun pasti tertumpas.” Ibnu Umar
berkata, “Saya mendengar beliau mengulangi kalimat: ‘Setiap kali berlalu
satu kurun pasti tertumpas’ sampai lebih dari dua puluh kali. Kemudin beliau bersabda,
‘Hingga muncullah Dajjal dalam barisan mereka’.” (Shohih, riwayat Ibnu
Majah)
Kelompok ini dalam Islam
kemudian lebih dikenal dengan istilah Khowarij. Bisa saja mereka bisa saja
mengatakan, “Kami bukan Khowarij.” Namun perlu diketahui bahwa perubahan
nama tidak merubah hakekat dan wajah asli.
Waspadailah Ciri-Ciri
Pemikiran Khowarij!!
Pemikiran Khowarij
memiliki ciri-ciri yang selalu ada di setiap zaman, diantara ciri-ciri itu
adalah:
1. Mengkafirkan
pelaku dosa besar
Seperti tersebut dalam
kisah di atas bahwa khowarij generasi awal begitu mudahnya mengkafirkan Ali dan
Mu’awiyah rodhiyallahu ‘anhuma. Syailkhul Islam Ibnu Taimiyyah berkata,
“… Disebabkan karena kesalahpahaman mereka (khowarij) terhadap Al Quran meski
mereka tidak bermaksud menentang Al Quran, mereka memahami wajibnya
mengkafirkan pelaku dosa besar. Hal ini beralasan bahwa orang mukmin itu
hanyalah orang yang baik lagi bertaqwa saja. Maka barang siapa tidak baik lagi
bertaqwa dia kafir dan kekal di neraka.” (Majmu’ Fatawa XIII/20)
Perlu diketahui bahwa
masalah pengkafiran adalah hukum syar’i yang harus dikembalikan kepada pada
Allah dan Rosul-Nya, sebagaimana penghalalan, pengharaman. Kita tidak boleh
mengkafirkan kecuali orang yang telah ditunjuk oleh kitab dan sunnah atas
kekafirannya dengan jelas. Pengkafiran tidaklah cukup dengan semata-mata
didasari prasangka, karena akan menimbulkan akibat-akibat yang berbahaya,
seperti penghalalan darah, harta benda, dan tidak boleh saling mewarisi,
pernikahannya menjadi batal dan lain-lainnya yang ditimbulkan akibat murtadnya
seseorang. Karena itulah Nabi memperingatkan dari hukum pengkafiran terhadap
seseorang yang bukan kafir, beliau bersabda: “Apabila seseorang mengatakan
kepada saudaranya: ‘Wahai kafir! Maka sungguh akan kembali kalimat itu pada
salah satu diantara keduanya. Jika memang benar ucapan itu (maka kalimat itu
tidak akan mengenainya) dan jika tidak, maka akan kembali kepadanya’.”
(Muttafaqun’alaih)
Pemahaman mereka ini
tentunya berlawanan dengan pemahaman ahlus sunnah yang didasari firman Allah, “Sesungguhnya
Allah tidak mengampuni dosa syirik, dan mengampuni dosa lain di bawah syirik
bagi siapa yang Dia kehendaki.” Intinya, bila seseorang berbuat kesyirikan
dan belum bertaubat sampai ia meninggal maka Allah tidak akan mengampuninya.
Akan tetapi dosa lain di bawah syirik seperti judi, minum khomr dan
sebagainya maka boleh jadi Allah mengadzabnya dan boleh jadi mengampuninya.
Adapun pengkafiran
secara khusus (baca: tunjuk hidung) maka itu adalah wewenang ulama, bukan
orang-orang jahil. Tidak boleh bagi seseorang ketika melihat ada orang lain
yang melakukan perbuatan kekufuran atau syirik akbar langsung mengarahkan
meriam takfir kepadanya. Sebab pengkafiran seperti ini harus melihat apakah
syaratnya terpenuhi dan tidak adanya penghalang (seperti dipaksa atau karena
ketidaktahuan). Dari sini kita dapat mengerti, mengapa dengan mudahnya mereka
membom dan menewaskan korban dari kaum muslimin sendiri. Yah, karena mereka
anggap kaum muslimin telah kafir maka darah mereka halal untuk ditumpahkan.
0 Comments