Memahami ilmu agama merupakan kewajiban atas setiap muslim dan muslimah.
Rasulullah sholallohu ‘alaihi wassallam bersabda:
طَلَبُ الْعِلْمِ فَرِيضَةٌ عَلَى كُلِّ مُسْلِمٍ
Menuntut ilmu merupakan
kewajiban atas setiap muslim. [HR. Ibnu Majah no:224, dan lainnya dari Anas bin
Malik. Dishahihkan oleh Syeikh Al-Albani]
Dan agama adalah apa
yang telah difirmankan oleh Alloh di dalam kitabNya, Al-Qur’anul Karim, dan
disabdakan oleh RosulNya di dalam Sunnahnya. Oleh karena itulah termasuk
kesalahan yang sangat berbahaya adalah berbicara masalah agama tanpa ilmu dari
Alloh dan RosulNya.
Sebagai nasehat sesama
umat Islam, di sini kami sampaikan di antara bahaya berbicara masalah agama
tanpa ilmu:
1.Hal itu merupakan
perkara tertinggi yang diharamkan oleh Allah.
Alloh Ta’ala berfirman:
قُلْ إِنَّمَا حَرَّمَ رَبِّيَ الْفَوَاحِشَ مَا ظَهَرَ مِنْهَا
وَمَا بَطَنَ وَاْلإِثْمَ وَالْبَغْىَ بِغَيْرِ الْحَقِّ وَأَن تُشْرِكُوا بِاللهِ
مَا لَمْ يُنَزِّلْ بِهِ سُلْطَانًا وَأَنْ تَقُولُوا عَلَى اللهِ مَا لاَ
تَعْلَمُونَ
Katakanlah: “Rabbku
hanya mengharamkan perbuatan yang keji, baik yang nampak maupun yang
tersembunyi, dan perbuatan dosa, melanggar hak manusia tanpa alasan yang benar,
(mengharamkan) mempersekutukan Allah dengan sesuatu yang Allah tidak menurunkan
hujjah untuk itu dan (mengharamkan) mengada-adakan terhadap Allah apa saja yang
tidak kamu ketahui (berbicara tentang Allah tanpa ilmu)” (Al-A’raf:33)
Syeikh Abdul Aziz bin
Abdulloh bin Baaz rohimahulloh berkata: “Berbicara tentang Allah tanpa ilmu
termasuk perkara terbesar yang diharamkan oleh Allah, bahkan hal itu disebutkan
lebih tinggi daripada kedudukan syirik. Karena di dalam ayat tersebut Alloh
mengurutkan perkara-perkara yang diharamkan mulai yang paling rendah sampai
yang paling tinggi.
Dan berbicara tentang Alloh tanpa ilmu meliputi: berbicara (tanpa ilmu) tentang hukum-hukumNya, syari’atNya, dan agamaNya. Termasuk berbicara tentang nama-namaNya dan sifat-sifatNya, yang hal ini lebih besar daripada berbicara (tanpa ilmu) tentang syari’atNya, dan agamaNya.” [Catatan kaki kitab At-Tanbihat Al-Lathifah ‘Ala Ma Ihtawat ‘alaihi Al-‘aqidah Al-Wasithiyah, hal: 34, tahqiq Syeikh Ali bin Hasan, penerbit:Dar Ibnil Qayyim]
Dan berbicara tentang Alloh tanpa ilmu meliputi: berbicara (tanpa ilmu) tentang hukum-hukumNya, syari’atNya, dan agamaNya. Termasuk berbicara tentang nama-namaNya dan sifat-sifatNya, yang hal ini lebih besar daripada berbicara (tanpa ilmu) tentang syari’atNya, dan agamaNya.” [Catatan kaki kitab At-Tanbihat Al-Lathifah ‘Ala Ma Ihtawat ‘alaihi Al-‘aqidah Al-Wasithiyah, hal: 34, tahqiq Syeikh Ali bin Hasan, penerbit:Dar Ibnil Qayyim]
2. Berbicara tentang Allah tanpa ilmu termasuk dusta atas
(nama) Allah.
Allah Ta’ala berfirman:
وَلاَ تَقُولُوا لِمَا تَصِفُ أَلْسِنَتُكُمُ الْكَذِبَ هَذَا
حَلاَلٌ وَهَذَا حَرَامٌ لِّتَفْتَرُوا عَلَى اللهِ الْكَذِبَ إِنَّ الَّذِينَ
يَفْتَرُونَ عَلَى اللهِ الْكَذِبَ لاَ يُفْلِحُونَ
Dan janganlah kamu
mengatakan terhadapa apa yang disebut-sebut oleh lidahmu secara dusta “ini
halal dan ini haram”, untuk mengada-adakan kebohongan terhadap Allah.
Sesungguhnya orang yang mengada-adakan kebohongan terhadap Allah tiadalah
beruntung. (QS. An-Nahl (16):
116)
3.Berbicara tentang
Allah tanpa ilmu merupakan kesesatan dan menyesatkan orang lain.
Rasulullah sholallohu
‘alaihi wassallam bersabda:
إِنَّ اللَّهَ لَا
يَقْبِضُ الْعِلْمَ انْتِزَاعًا يَنْتَزِعُهُ مِنَ الْعِبَادِ وَلَكِنْ يَقْبِضُ
الْعِلْمَ بِقَبْضِ الْعُلَمَاءِ حَتَّى إِذَا لَمْ يُبْقِ عَالِمًا اتَّخَذَ
النَّاسُ رُءُوسًا جُهَّالاً فَسُئِلُوا فَأَفْتَوْا بِغَيْرِ عِلْمٍ فَضَلُّوا
وَأَضَلُّوا
Sesungguhnya Allah tidak
akan mencabut ilmu dari hamba-hambaNya sekaligus, tetapi Dia akan mencabut ilmu
dengan mematikan para ulama’. Sehingga ketika Allah tidak menyisakan seorang
‘alim-pun, orang-orang-pun mengangkat pemimpin-pemimpin yang bodoh. Lalu para
pemimpin itu ditanya, kemudian mereka berfatwa tanpa ilmu, sehingga mereka
menjadi sesat dan menyesatkan orang lain. (HSR. Bukhari no:100, Muslim, dan lainnya)
Hadits ini menunjukkan
bahwa “Barangsiapa tidak berilmu dan menjawab pertanyaan yang diajukan
kepadanya dengan tanpa ilmu, dan mengqias (membandingkan) dengan akalnya,
sehingga mengharamkan apa yang Alloh halalkan dengan kebodohan, dan
menghalalkan apa yang Allah haramkan dengan tanpa dia ketahui, maka inilah
orang yang mengqias dengan akalnya, sehingga dia sesat dan menyesatkan. (Shahih
Jami’il Ilmi Wa Fadhlihi, hal: 415, karya Al-Hafizh Ibnu Abdil Barr, diringkas
oleh Syeikh Abul Asybal Az-Zuhairi)
4.Berbicara tentang
Allah tanpa ilmu merupakan sikap mengikuti hawa-nafsu.
Imam Ali bin Abil ‘Izzi
Al-Hanafi rohimahulloh berkata: “Barangsiapa berbicara tanpa ilmu, maka
sesungguhnya dia hanyalah mengikuti hawa-nafsunya, dan Allah telah berfirman:
وَمَنْ أَضَلُّ مِمَّنِ اتَّبَعَ هَوَاهُ بِغَيْرِ هُدًى مِّنَ اللهِ
Dan siapakah yang lebih
sesat dari pada orang yang mengikuti hawa nafsunya dengan tidak mendapat
petunjuk dari Allah sedikitpun (Al-Qashshash:50)” (Kitab Minhah Ilahiyah Fii Tahdzib Syarh
Ath-Thahawiyah, hal: 393)
5.Berbicara tentang
Allah tanpa ilmu merupakan sikap mendahului Allah dan RasulNya.
Allah berfirman:
يَاأَيُّهَا الَّذِينَ ءَامَنُوا لاَ تُقَدِّمُوا بَيْنَ يَدَيِ
اللهِ وَرَسُولِهِ وَاتَّقُوا اللهَ إِنَّ اللهَ سَمِيعٌ عَلِيمُُ
Hai orang-orang yang
beriman, janganlah kamu mendahului Allah dan Rasul-Nya dan bertaqwalah kepada
Allah. Sesungguhnya Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui. (QS. Al-Hujuraat: 1)
Syeikh Abdurrahman bin
Nashir As-Sa’di rohimahulloh berkata: “Ayat ini memuat adab terhadap Alloh dan
RosulNya, juga pengagungan, penghormatan, dan pemuliaan kepadanya. Alloh telah
memerintahkan kepada para hambaNya yang beriman, dengan konsekwensi keimanan
terhadap Alloh dan RosulNya, yaitu: menjalankan perintah-perintah Alloh dan
menjauhi larangan-laranganNya. Dan agar mereka selalu berjalan mengikuti
perintah Alloh dan Sunnah RosulNya di dalam seluruh perkara mereka. Dan agar
mereka tidak mendahului Alloh dan RosulNya, sehingga janganlah mereka berkata,
sampai Alloh berkata, dan janganlah mereka memerintah, sampai Alloh
memerintah”. (Taisir Karimir Rahman, surat Al-Hujurat:1)
6.Orang yang berbicara
tentang Allah tanpa ilmu menanggung dosa-dosa orang-orang yang dia sesatkan.
Orang yang berbicara
tentang Allah tanpa ilmu adalah orang sesat
dan mengajak kepada
kesesatan, oleh karena itu dia menanggung dosa-dosa orang-orang yang telah dia
sesatkan. Rasulullah sholallohu ‘alaihi wassallam:
مَنْ دَعَا إِلَى هُدًى كَانَ لَهُ مِنَ اْلأَجْرِ مِثْلُ أُجُورِ
مَنْ تَبِعَهُ لاَ يَنْقُصُ ذَلِكَ مِنْ أُجُورِهِمْ شَيْئًا وَمَنْ دَعَا إِلَى
ضَلاَلَةٍ كَانَ عَلَيْهِ مِنَ اْلإِثْمِ مِثْلُ آثَامِ مَنْ تَبِعَهُ لاَ
يَنْقُصُ ذَلِكَ مِنْ آثَامِهِمْ شَيْئًا
Barangsiapa menyeru
kepada petunjuk, maka dia mendapatkan pahala sebagaimana pahala-pahala orang
yang mengikutinya, hal itu tidak mengurangi pahala mereka sedikitpun. Dan
barangsiapa menyeru kepada kesesatan, maka dia mendapatkan dosa sebagaimana
dosa-dosa orang yang mengikutinya, hal itu tidak mengurangi dosa mereka
sedikitpun. (HSR. Muslim no:2674,
dari Abu Hurairah)
7.Berbicara tentang
Allah tanpa ilmu akan dimintai tanggung-jawab.
Allah Ta’ala berfirman:
وَلاَ تَقْفُ مَا لَيْسَ لَكَ بِهِ عِلْمٌ إِنَّ السَّمْعَ
وَالْبَصَرَ وَالْفُؤَادَ كُلُّ أُوْلاَئِكَ كَانَ عَنْهُ مَسْئُولاً
Dan janganlah kamu
mengikuti apa yang kamu tidak mempunyai pengetahuan tentangnya. Sesungguhnya
pendengaran, penglihatan dan hati, semuanya itu akan diminta pertanggunganjawabnya. (QS. Al-Isra’ : 36)
Setelah menyebutkan pendapat para Salaf tentang ayat ini, imam Ibnu Katsir rohimahulloh berkata: “Kesimpulan penjelasan yang mereka sebutkan adalah: bahwa Alloh Ta’ala melarang berbicara tanpa ilmu, yaitu (berbicara) hanya dengan persangkaan yang merupakan perkiraan dan khayalan.” (Tafsir Al-Qur’anul Azhim, surat Al-Isra’:36)
Setelah menyebutkan pendapat para Salaf tentang ayat ini, imam Ibnu Katsir rohimahulloh berkata: “Kesimpulan penjelasan yang mereka sebutkan adalah: bahwa Alloh Ta’ala melarang berbicara tanpa ilmu, yaitu (berbicara) hanya dengan persangkaan yang merupakan perkiraan dan khayalan.” (Tafsir Al-Qur’anul Azhim, surat Al-Isra’:36)
8.Orang yang berbicara
tentang Allah tanpa ilmu termasuk tidak berhukum dengan apa yang Allah
turunkan.
Syeikh Hafizh bin Ahmad
Al-Hakami menyatakan: “Fashal: Tentang Haramnya berbicara tentang Allah tanpa
ilmu, dan haramnya berfatwa tentang agama Allah dengan apa yang menyelisihi
nash-nash”. Kemudian beliau membawakan sejumlah ayat Al-Qur’an, di antaranya
adalah firman Allah di bawah ini:
وَمَن لَّمْ يَحْكُم بِمَآ أَنزَلَ اللهُ فَأُوْلاَئِكَ هُمُ
الْكَافِرُونَ
Barang siapa yang tidak
memutuskan menurut apa yang diturunkan Allah, maka mereka itu adalah
orang-orang yang kafir.
(QS. 5:44)
9.Berbicara agama tanpa
ilmu menyelisihi jalan Ahlus Sunnah Wal Jama’ah.
Imam Abu Ja’far
Ath-Thahawi rohimahulloh menyatakan di dalam aqidah Thahawiyahnya yang masyhur:
“Dan kami berkata: “Wallahu A’lam (Allah Yang Mengetahui)”, terhadap
perkara-perkara yang ilmunya samar bagi kami”. [Minhah Ilahiyah Fii Tahdzib
Syarh Ath-Thahawiyah, hal: 393]
10.Berbicara agama tanpa
ilmu merupakan perintah syaithan.
Allah berfirman:
إِنَّمَا يَأْمُرُكُم بِالسُّوءِ وَالْفَحْشَآءِ وَأَن تَقُولُوا
عَلَى اللهِ مَا لاَ تَعْلَمُونَ
Sesungguhnya syaithan
itu hanya menyuruh kamu berbuat jahat dan keji, dan mengatakan kepada Allah apa
yang tidak kamu ketahui.
(QS. 2:169)
Keterangan ini kami
akhiri dengan nasehat: barangsiapa yang ingin bebicara masalah agama hendaklah
dia belajar lebih dahulu. Kemudian hendaklah dia hanya berbicara berdasarkan
ilmu. Wallohu a’lam bish showwab. Al-hamdulillah Rabbil ‘alamin
0 Comments