Pandangan Ulama
Sunnah Tentang Maulid Nabi
[Pertama]
Muhammad bin ‘Abdus Salam Khodr Asy Syuqairiy membawakan pasal “Di
bulan Rabi’ul Awwal dan Bid’ah Maulid”. Dalam pasal tersebut, beliau
rahimahullah mengatakan, “Bulan Rabi’ul Awwal ini tidaklah dikhusukan dengan
shalat, dzikr, ‘ibadah, nafkah atau sedekah tertentu. Bulan ini bukanlah bulan
yang di dalamnya terdapat hari besar Islam seperti berkumpul-kumpul dan adanya
‘ied sebagaimana digariskan oleh syari’at. … Bulan ini memang adalah hari
kelahiran Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dan sekaligus pula bulan ini
adalah waktu wafatnya beliau. Bagaimana seseorang bersenang-senang dengan hari
kelahiran beliau sekaligus juga kematiannya[?] Jika hari kelahiran beliau
dijadikan perayaan, maka itu termasuk perayaan yang bid’ah yang mungkar. Tidak
ada dalam syari’at maupun dalam akal yang membenarkan hal ini.
Jika dalam maulid
terdapat kebaikan,lalu mengapa perayaan ini dilalaikan oleh Abu Bakar, ‘Umar,
Utsman, ‘Ali, dan sahabat lainnya, juga tabi’in dan yang mengikuti mereka [?]
Tidak disangsikan lagi, perayaan yang diada-adakan ini adalah kelakuan
orang-orang sufi, orang yang serakah pada makanan, orang yang gemar menyiakan
waktu dengan permainan sia-sia dan pengagung bid’ah. …”
Lalu beliau melanjutkan
dengan perkataan yang menghujam, “Lantas faedah apa yang bisa diperoleh, pahala
apa yang bisa diraih dari penghamburan harta yang memberatkan [?]”
[Kedua]
Seorang ulama Malikiyah, Syaikh Tajuddin ‘Umar
bin ‘Ali –yang lebih terkenal dengan Al Fakihaniy- mengatakan bahwa maulid
adalah bid’ah madzmumah (bid’ah yang tercela). Beliau memiliki kitab
tersendiri yang beliau namakan “Al Mawrid fil Kalam ‘ala ‘Amalil Mawlid
(Pernyataan mengenai amalan Maulid)”.
Beliau rahimahullah
mengatakan, “Aku tidak mengetahui bahwa maulid memiliki dasar dari Al Kitab dan
As Sunnah sama sekali. Tidak ada juga dari satu pun ulama yang dijadikan qudwah
(teladan) dalam agama menunjukkan bahwa maulid berasal dari pendapat para ulama
terdahulu. Bahkan maulid adalah suatu bid’ah yang diada-adakan, yang sangat
digemari oleh orang yang senang menghabiskan waktu dengan sia-sia, sangat pula
disenangi oleh orang serakah pada makanan. Kalau mau dikatakan maulid masuk di
mana dari lima hukum taklifi (yaitu wajib, sunnah, mubah, makruh dan haram),
maka yang tepat perayaan maulid bukanlah suatu yang wajib secara ijma’
(kesepakatan para ulama) atau pula bukan sesuatu yang dianjurkan
(sunnah). Karena yang namanya sesuatu yang dianjurkan (sunnah) tidak
dicela orang yang meninggalkannya. Sedangkan maulid tidaklah dirayakan oleh
sahabat, tabi’in dan ulama sepanjang pengetahuan kami. Inilah jawabanku
terhadap hal ini. Dan tidak bisa dikatakan merayakan maulid itu mubah karena
yang namanya bid’ah dalam agama –berdasarkan kesepakatan para ulama kaum
muslimin- tidak bisa disebut mubah. Jadi, maulid hanya bisa kita katakan
terlarang atau haram.”
Cinta pada Nabi
shallallahu ’alaihi wa sallam bukanlah dengan merayakan Maulid. Hakikat cinta
pada Nabi shallallahu ’alaihi wa sallam adalah dengan mengikuti
(ittiba’) setiap ajarannya dan mentaatinya. Semakin seseorang mencintai Nabinya
maka dia juga akan semakin mentaatinya. Dari sinilah sebagian salaf mengatakan:
لهذا لما كَثُرَ الأدعياء
طُولبوا بالبرهان ,قُلْ إِنْ كُنْتُمْ تُحِبُّونَ اللَّهَ فَاتَّبِعُونِي
يُحْبِبْكُمْ اللَّهُ
Tatkala banyak orang
yang mengklaim mencintai Allah, mereka dituntut untuk mendatangkan bukti. Allah
Ta’ala berfirman (yang artinya): ”Katakanlah: “Jika kamu
(benar-benar) mencintai Allah, ikutilah aku, niscaya Allah mengasihi dan
mengampuni dosa-dosamu.” Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (QS.
Ali Imron: 31).
Orang yang cinta Nabi shallallahu
‘alaihi wa sallam tentu hanya mau mengikuti ajaran yang beliau syariatkan
dan bukan mengada-ada dengan melakukan amalan yang tidak ada tuntunan, alias membuat
bid’ah.
0 Comments