1. Mendapati waktu fajar dalam
keadaan junub.
Dari ‘Aisyah dan Ummu Salamah radhiyallahu
‘anhuma, mereka berkata,
أَنَّ
رَسُولَ اللَّهِ – صلى الله عليه وسلم – كَانَ يُدْرِكُهُ الْفَجْرُ وَهُوَ جُنُبٌ
مِنْ أَهْلِهِ ، ثُمَّ يَغْتَسِلُ وَيَصُومُ
“Nabi shallallahu ‘alaihi wa
sallam pernah mendapati waktu fajar (waktu Shubuh) dalam keadaan junub karena
bersetubuh dengan istrinya, kemudian beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam mandi
dan tetap berpuasa.”
Istri tercinta Nabi shallallahu
‘alaihi wa sallam, ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha berkata,
قَدْ
كَانَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- يُدْرِكُهُ الْفَجْرُ فِى رَمَضَانَ
وَهُوَ جُنُبٌ مِنْ غَيْرِ حُلُمٍ فَيَغْتَسِلُ وَيَصُومُ.
“Rasulullah shallallahu ‘alaihi
wa sallam pernah menjumpai waktu fajar di bulan Ramadhan dalam keadaan junub
bukan karena mimpi basah, kemudian beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam mandi
dan tetap berpuasa.”
2. Bersiwak ketika berpuasa.
Dari Abu Hurairah, Nabi shallallahu
‘alaihi wa sallam,
لَوْلاَ
أَنْ أَشُقَّ عَلَى أُمَّتِى لأَمَرْتُهُمْ بِالسِّوَاكِ عِنْدَ كُلِّ وُضُوءٍ
“Seandainya tidak memberatkan
umatku niscaya akan kuperintahkan mereka untuk menyikat gigi (bersiwak) setiap
kali berwudhu.”
Imam Al Bukhari membawakan hadits di
atas (tanpa sanad) dalam judul Bab “Siwak basah dan kering bagi orang yang
berpuasa”. Judul bab ini mengisyaratkan bahwa Imam Al Bukhari ingin menyanggah
sebagian ulama (seperti ulama Malikiyah dan Asy Sya’bi) yang memakruhkan untuk
bersiwak ketika berpuasa dengan siwak basah.
Ibnu Taimiyah menjelaskan, “Adapun
siwak (ketika berpuasa) maka itu dibolehkan tanpa ada perselisihan di antara
para ulama. Akan tetapi, para ulama berselisih pendapat tentang makruhnya hal
itu jika dilakukan setelah waktu zawal (matahari tergelincir ke barat). Ada dua
pendapat yang masyhur dari Imam Ahmad dalam masalah ini. Namun yang tepat,
tidak ada dalil syari’i yang mengkhususkan bahwa hal tersebut dimakruhkan.
Padahal terdapat dalil-dalil umum yang membolehkan untuk bersiwak.”
Penulis Tuhfatul Ahwadzi mengatakan,
“Hadits-hadits yang semakna dengan di atas yang membicarakan keutamaan bersiwak
adalah hadits mutlak yang menunjukkan bahwa siwak dibolehkan setiap saat.
Inilah pendapat yang lebih tepat.”
Syaikh Muhammad bin Sholih Al
Utsaimin mengatakan, “Yang benar adalah siwak dianjurkan bagi orang yang
berpuasa mulai dari awal hingga akhir siang.”
Dalil yang menunjukkan mengenai
keutamaan siwak adalah hadits ‘Aisyah. Dari ‘Aisyah, Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam bersabda,
السِّوَاكَ
مَطْهَرَةٌ لِلْفَمِ مَرْضَاةٌ لِلرَّبِّ
“Bersiwak itu akan membuat mulut
bersih dan diridhoi oleh Allah.”
Adapun menggunakan pasta gigi ketika
puasa lebih baik tidak digunakan ketika berpuasa karena pasta gigi memiliki
pengaruh sangat kuat hingga bisa mempengaruhi bagian dalam tubuh dan kadang
seseorang tidak merasakannya. Waktu untuk menyikat gigi sebenarnya masih
lapang. Jika seseorang mengakhirkan untuk menyikat gigi hingga waktu berbuka,
maka dia berarti telah menjaga diri dari perkara yang dapat merusak puasanya.
3. Berkumur-kumur dan memasukkan air
ke dalam hidung asal tidak berlebihan.
Nabi shallallahu ‘alaihi wa
sallam bersabda,
وَبَالِغْ
فِى الاِسْتِنْشَاقِ إِلاَّ أَنْ تَكُونَ صَائِمً
“Bersungguh-sungguhlah dalam
beristinsyaq (memasukkan air dalam hidung) kecuali jika engkau berpuasa.”
Ibnu Taimiyah menjelaskan, “Adapun
berkumur-kumur dan beristinsyaq (memasukkan air dalam hidung) dibolehkan bagi
orang yang berpuasa berdasarkan kesepakatan para ulama. Nabi shallallahu
‘alaihi wa sallam dan para sahabat juga berkumur-kumur dan beristinsyaq
ketika berpuasa. … Akan tetapi, dilarang untuk berlebih-lebihan ketika itu.”
Juga tidak mengapa jika orang yang
berpuasa berkumur-kumur meski tidak karena wudhu dan mandi.
Jika masih ada sesuatu yang basah
–yang tersisa sesudah berkumur-kumur- di dalam mulut lalu tertelan tanpa
sengaja, seperti itu tidak membatalkan puasa karena sulit dihindari. Ibnu Hajar
rahimahullah mengatakan, “Jika dikhawatirkan sehabis bersiwak terdapat
sesuatu yang basah di dalam mulut (seperti sesudah berkumur-kumur dan masih
tersisa sesuatu yang basah di dalam mulut), maka itu tidak membatalkan puasa
walaupun sesuatu yang basah tadi ikut tertelan.”
4. Bercumbu dan mencium istri selama
aman dari keluarnya mani.
Orang yang berpuasa dibolehkan
bercumbu dengan istrinya selama tidak di kemaluan dan selama terhindar dari
terjerumus pada hal yang terlarang. Puasanya tidak batal selama tidak keluar
mani An Nawawi rahimahullah mengatakan, “Tidak ada perselisihan di
antara para ulama bahwa bercumbu atau mencium istri tidak membatalkan puasa
selama tidak keluar mani”.
Dalil-dalil berikut menunjukkan
bolehnya bercumbu dengan istri ketika berpuasa sebagaimana dilakukan oleh Nabi shallallahu
‘alaihi wa sallam dan beberapa sahabat radhiyallahu ‘anhum.
Dari ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha,
beliau berkata,
كَانَ
النَّبِىُّ – صلى الله عليه وسلم – يُقَبِّلُ وَيُبَاشِرُ ، وَهُوَ صَائِمٌ ،
وَكَانَ أَمْلَكَكُمْ لإِرْبِهِ .
“Nabi shallallahu ‘alaihi wa
sallam biasa mencium dan mencumbu istrinya sedangkan beliau shallallahu ‘alaihi
wa sallam dalam keadaan berpuasa. Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam
melakukan demikian karena beliau adalah orang yang paling kuat menahan
syahwatnya.”
Dari Jabir bin ‘Abdillah, dari ‘Umar
Bin Al Khaththab, beliau berkata,
هَشَشْتُ
يَوْما فَقَبَّلْتُ وَأَنَا صَائِمٌ فَأَتَيْتُ النَّبِىَّ -صلى الله عليه وسلم-
فَقُلْتُ صَنَعْتُ الْيَوْمَ أَمْراً عَظِيماً قَبَّلْتُ وَأَنَا صَائِمٌ فَقَالَ
رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- « أَرَأَيْتَ لَوْ تَمَضْمَضْتَ بِمَاءٍ
وَأَنْتَ صَائِمٌ ». قُلْتُ لاَ بَأْسَ بِذَلِكَ فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى
الله عليه وسلم- « فَفِيمَ »
“Pada suatu hari aku rindu dan
hasratku muncul kemudian aku mencium istriku padahal aku sedang berpuasa, maka
aku datang kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dan aku berkata, “Hari
ini aku melakukan suatu kesalahan besar, aku telah mencium istriku padahal
sedang berpuasa” Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bertanya,
“Bagaimana pendapatmu jika kamu berpuasa kemudian berkumur-kumur?” Aku
menjawab, “Seperti itu tidak mengapa.” Kemudian Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam bersabda, “Lalu apa masalahnya?“
Masyruq pernah bertanya pada
‘Aisyah,
مَا
يَحِلُّ لِلرَّجُلِ مِنْ اِمْرَأَته صَائِمًا ؟ قَالَتْ كُلُّ شَيْء إِلَّا
الْجِمَاعَ
“Apa yang dibolehkan bagi
seseorang terhadap istrinya ketika puasa? ‘Aisyah menjawab, ‘Segala sesuatu
selain jima’ (bersetubuh)’.”
0 Comments