Berjabat tangan yang dilakukan sesama muslim yang sebagai pelaksanaan sunnah juga mempunyai fadlilah cukup besar seperti bisa memperkecil permusuhan, memperkuat kasih sayang, memperkuat tali silahturahmi dengan sesama muslim dan juga bisa menggugurkan dosa. Berjabat tangan yang dimaksud bukanlah berjabat tangan dengan beda lawan jenis sebab itu merupakan haram.
Hadits Keutamaan Berjabat Tangan
Ada beberapa hadits yang menyebutkan tentang keutamaan dalam berjabat tangan atau mushofahah dan berikut adalah penjelasan selengkapnya.
- Dosa Terampuni
Nabi Saw juga bersabda, “Sesungguhnya seorang mukmin jika bertemu dengan mukmin yang lain, kemudian dia memberi salam dan menjabat tangannya maka dosa-dosa keduanya akan saling berguguran sebagaimana daun-daun pohon berguguran.” (HR. Al Munziri, Shohih).
- Menghilangkan Kebencian
- Mendatangkan Rahmat Allah Ta’ala
- Ciri Orang Lembut
Pandangan Ulama Dalam Hukum Boleh Tidaknya Bersalaman Sesudah Shalat
Para ulama memiliki perbedaan pendapat tentang hukum berjabat tangan sesudah shalat. Sebagian ulama menghukumi hal tersebut sebagai mubah dan sebagian ulama lain beranggapan jika hal tersebut adalah perkara makruhah atau dibenci. Berikut ini adalah penjelasan tentang kelompok utama dan juga imam muslimin dengan nama besarnya yang bisa menjadi jaminan pandangan bermutu serta keilmuannya.A. Ulama Yang Membolehkan
- Imam ‘Izzuddin (Al ‘Izz) bin Abdussalamrah berkata, “Bid’ah-bid’ah mubahah (bid’ah yang boleh) contoh di antaranya adalah: bersalaman setelah subuh dan ‘ashar, di antaranya juga berlapang-lapang dalam hal-hal yang nikmat berupa makanan, minuman, pakaian, tempat tinggal, melebarkan pakaian kebesaran ulama, dan melebarkan lengan baju.” (Qawaid Al Ahkam fi Mashalihil Anam, 2/173).
- Imam An Nawawi rah. Beliau berkata, “Ketahuilah, bersalaman merupakan perbuatan yang disunahkan dalam keadaan apa pun. Ada pun kebiasaan manusia saat ini bersalaman setelah shalat subuh dan ‘ashar, maka yang seperti itu tidak ada dasarnya dalam syariat, tetapi itu tidak mengapa. Karena pada dasarnya bersalaman adalah sunah, dan keadaan mereka menjaga hal itu pada sebagian keadaan dan mereka berlebihan di dalamnya pada banyak keadaan lain atau lebih dari itu, pada dasarnya tidaklah keluar dari bersalaman yang ada dalam syara’.” (Raudhatuth Thalibin, 7/438)”.
- Imam Abul Hasan Al Mawardi rah berkata, “Jika seorang imam sudah selesai dari shalatnya, dan jika yang shalat di belakangnya adalah seorang laki-laki, bukan wanita, maka dia bersalaman setelah shalat bersama mereka, dan setelah sempurna waktunya, hendaknya dia mengucapkan salam agar manusia tahu bahwa dia telah selesai dari shalat.”(Al Hawi Al Kabir, 2/343).
- Imam Ibnu Hajar Al Haitami rah berkata, “Tidak ada dasarnya bersalaman setelah shalat subuh dan ‘ashar, tetapi itu tidak mengapa, karena itu termasuk makna global dari bersalaman, dan Asy Syaari’(pembuat syariat) telah menganjurkan atas hal itu.” (Tuhfatul Muhtaj, 39/448)
- Imam Syihabuddin Ar Ramli rah., beliau berkata : “Sesungguhnya apa yang dilakukan manusia berupa bersalaman setelah shalat tidaklah ada dasarnya, tetapi itu tidak mengapa.” (Fatawa Ar Ramli, 1/385).
- Syaikh ‘Athiyah Shaqr bekata, ““Pendapat yang dipilih adalah bahwa hal itu tidaklah haram, dan hal itu telah termasuk dalam anjuran bersalaman ketika bertemu yang dengannya Allah Ta’ala akan menghapuskan kesalahannya, dan saya berharap perkara seperti ini jangan terus menerus diributkan. … (Fatawa Dar Al Ifta’ Al Mishriyah, 8/477).
- Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rah berkata, “Bersalaman seusai shalat tidaklah disunahkan dan bahkan bid’ah”. (Majmu’ Fatawa, 23/339)
- Al Hafidz Ibn Hajar al Atsqalani berkata, “Berjabat tangan sesudah shalat adalah waktu yang dimakhruhkan sebab tidak mempunyai dasar pada syariat Islam.” (al Si’aayah fii al Kasyf ‘ammaa fii Syarh al Wiqaayah /264)
- Imam Ibnu Al Hajj Al Maliki rah berkata, “Berjabat tangan termasuk bid’ah yang harus dilarang di dalam masjid sebab berjabat tangan menurut syariat hanya dilakukan saat seorang muslim bertemu dengan saudaranya dan bukan dilakukan sesudah shalat lima waktu.” (Al Mausu’ah Al Fiqhiyah, 37/363).
0 Comments