Bukti
Cinta Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam
Pertama: Mendahulukan dan mengutamakan beliau dari
siapa pun
Hal ini dikarenakan Nabi
shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah makhluk pilihan dari Allah Ta’ala.
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
إِنَّ اللَّهَ اصْطَفَى كِنَانَةَ
مِنْ وَلَدِ إِسْمَاعِيلَ وَاصْطَفَى قُرَيْشًا مِنْ كِنَانَةَ وَاصْطَفَى مِنْ
قُرَيْشٍ بَنِى هَاشِمٍ وَاصْطَفَانِى مِنْ بَنِى هَاشِمٍ
“Sesungguhnya Allah
telah memilih Kinanah yang terbaik dari keturunan Isma’il. Lalu Allah pilih
Quraisy yang terbaik dari Kinanah. Allah pun memilih Bani Hasyim yang terbaik
dari Quraisy. Lalu Allah pilih aku sebagai yang terbaik dari Bani Hasyim.”
Di antara bentuk
mendahulukan dan mengutamakan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dari
siapa pun yaitu apabila pendapat ulama, kyai atau ustadz yang menjadi
rujukannya bertentangan dengan hadits Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, maka
yang didahulukan adalah pendapat Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Sebagaimana
yang dijelaskan oleh Imam Asy Syafi’i rahimahullah, “Kaum muslimin telah
sepakat bahwa siapa saja yang telah jelas baginya ajaran Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam, maka tidak halal baginya untuk meninggalkannya karena
perkataan yang lainnya.”
Kedua: Membenarkan segala yang disampaikan oleh Nabi shallallahu
’alaihi wa sallam
Termasuk prinsip
keimanan dan pilarnya yang utama ialah mengimani kemaksuman Nabi shallallahu
’alaihi wa sallam dari dusta atau buhtan (fitnah) dan membenarkan
segala yang dikabarkan beliau tentang perkara yang telah berlalu, sekarang, dan
akan datang. Karena Allah Ta’ala berfirman,
وَالنَّجْمِ إِذَا هَوَى
(1) مَا ضَلَّ صَاحِبُكُمْ وَمَا غَوَى (2) وَمَا يَنْطِقُ عَنِ الْهَوَى (3) إِنْ
هُوَ إِلَّا وَحْيٌ يُوحَى (4)
”Demi bintang ketika
terbenam. Kawanmu (Muhammad) tidak sesat dan tidak pula keliru. Dan tiadalah
yang diucapkannya itu (Al-Quran) menurut kemauan hawa nafsunya. Ucapannya itu
tiada lain hanyalah wahyu yang diwahyukan (kepadanya).” (QS. An Najm: 1-4)
Ketiga: Beradab di sisi Nabi shallallahu ’alaihi wa
sallam
Di antara bentuk adab
kepada Nabi shallallahu ’alaihi wa sallam adalah memuji beliau dengan
pujian yang layak baginya. Pujian yang paling mendalam ialah pujian yang
diberikan oleh Rabb-nya dan pujian beliau terhadap dirinya sendiri, dan yang
paling utama adalah shalawat dan salam kepada beliau. Nabi shallallahu
‘alaihi wa sallam bersabda,
الْبَخِيلُ الَّذِي مَنْ
ذُكِرْتُ عِنْدَهُ فَلَمْ يُصَلِّ عَلَيَّ
“Orang yang bakhil
(pelit) adalah orang yang apabila namaku disebut di sisinya, dia tidak
bershalawat kepadaku.”
Keempat: Ittiba’ (mencontoh) Nabi shallallahu
‘alaihi wa sallam serta berpegang pada petunjuknya.
Allah Ta’ala
berfirman,
قُلْ إِنْ كُنْتُمْ
تُحِبُّونَ اللَّهَ فَاتَّبِعُونِي يُحْبِبْكُمُ اللَّهُ وَيَغْفِرْ لَكُمْ
ذُنُوبَكُمْ
“Katakanlah: “Jika
kamu (benar-benar) mencintai Allah, ikutilah aku, niscaya Allah mengasihi dan
mengampuni dosa-dosamu”.” (QS. Ali Imron: 31)
Ibnu Mas’ud radhiyallahu
‘anhu berkata,
اتَّبِعُوا، وَلا
تَبْتَدِعُوا فَقَدْ كُفِيتُمْ، كُلُّ بِدْعَةٍ ضَلالَةٌ
“Ikutilah (petunjuk Nabi
shallallahu ‘alaihi wa sallam), janganlah membuat bid’ah. Karena (ajaran
Nabi) itu sudah cukup bagi kalian. Semua amalan yang tanpa tuntunan Nabi
(baca: bid’ah) adalah sesat .”
Kelima: Berhakim kepada ajaran Nabi shallallahu ’alaihi wa sallam
Sesungguhnya berhukum
dengan ajaran Nabi shallallahu ’alaihi wa sallam adalah salah satu
prinsip mahabbah (cinta) dan ittiba’ (mengikuti Nabi shallallahu
’alaihi wa sallam). Tidak ada iman bagi orang yang tidak berhukum dan
menerima dengan sepenuhnya syari’atnya. Allah Ta’ala berfirman,
فَلَا وَرَبِّكَ لَا
يُؤْمِنُونَ حَتَّى يُحَكِّمُوكَ فِيمَا شَجَرَ بَيْنَهُمْ ثُمَّ لَا يَجِدُوا فِي
أَنْفُسِهِمْ حَرَجًا مِمَّا قَضَيْتَ وَيُسَلِّمُوا تَسْلِيمًا
“Maka demi Tuhanmu,
mereka (pada hakekatnya) tidak beriman hingga mereka menjadikan kamu hakim
terhadap perkara yang mereka perselisihkan, kemudian mereka tidak merasa dalam
hati mereka sesuatu keberatan terhadap putusan yang kamu berikan, dan mereka
menerima dengan sepenuhnya.” (QS. An-Nisa’: 65)
Ibnu Taimiyah rahimahullah
mengatakan, “Setiap orang yang keluar dari ajaran dan syariat Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam maka Allah telah bersumpah dengan diri-Nya yang
disucikan, bahwa dia tidak beriman sehingga ridha dengan hukum Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam dalam segala yang diperselisihkan di antara mereka dari
perkara-perkara agama dan dunia serta tidak ada dalam hati mereka rasa
keberatan terhadap hukumnya.”
Keenam: Membela Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa
sallam
Membela dan menolong
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah salah satu tanda
kecintaan dan pengagungan. Allah Ta’ala berfirman,
لِلْفُقَرَاءِ الْمُهَاجِرِينَ الَّذِينَ أُخْرِجُوا مِنْ
دِيَارِهِمْ وَأَمْوَالِهِمْ يَبْتَغُونَ فَضْلًا مِنَ اللَّهِ وَرِضْوَانًا
وَيَنْصُرُونَ اللَّهَ وَرَسُولَهُ أُولَئِكَ هُمُ الصَّادِقُونَ
“(Juga) bagi orang
fakir yang berhijrah yang diusir dari kampung halaman dan dari harta benda
mereka (karena) mencari karunia dari Allah dan keridhaan-Nya dan mereka
menolong Allah dan RasulNya. Mereka itulah orang-orang yang benar.” (QS. Al
Hasyr: 8)
Di antara contoh
pembelaaan terhadap Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam seperti
diceritakan dalam kisah berikut. Ketika umat Islam mengalami kekalahan, Anas
bin Nadhr pada perang Uhud mengatakan, ”Ya Allah, aku memohon ampun kepadamu
terhadap perbuatan para sahabat dan aku berlepas diri dari-Mu dari perbuatan
kaum musyrik.” Kemudian ia maju lalu Sa’ad menemuinya. Anas lalu berkata,
”Wahai Sa’ad bin Mu’adz, surga. Demi Rabbnya Nadhr, sesungguhnya aku mencium
bau surga dari Uhud.” ”Wahai Rasulullah, aku tidak mampu berbuat sebagaimana
yang diperbuatnya,” ujar Sa’ad. Anas bin Malik berkata, ”Kemudian kami dapati
padanya 87 sabetan pedang, tikaman tombak, atau lemparan panah. Kami
mendapatinya telah gugur dan kaum musyrikin telah mencincang-cincangnya. Tidak
ada seorang pun yang mengenalinya kecuali saudara perempuannya yang
mengenalinya dari jari telunjuknya.”[14]
0 Comments