Ayub alaihissalam dikenal sebagai nabi yang paling sabar dalam
menghadapi setiap musibah yang menimpanya. Cobaan-cobaan itu meliputi
kehilangan harta benda, anak-anak, keluarga, hingga menderita penyakit
kusta yang tak kunjung sembuh.
Ayub menempati
nabi ke dua belas dan masih punyai garis keturunan dengan Nabi Ibrahim
AS. Beliau dianugerahi oleh Allah SWT kekayaan yang melimpah sekaligus
istri-istri dan anak-anak yang baik. Hingga suatu hari, kemujuran Nabi
Ayub AS beralih menjadi kisah duka yang membuatnya ditinggalkan
orang-orang terkasih.
Kala itu, Nabi Ayub AS mendapat
musibah bertubi-tubi. Hal ini bermula dari rasa iri iblis karena
malaikat sering kali memuji ketaatan dan kesabaran beliau. Setelah
berharap izin Allah, dia dan bala tentaranya menjadi menguji keimanan
sang nabi dengan beraneka cobaan.
Meski mendapat banyak
ujian, Nabi Ayub AS selalu sabar dan selalu berbaik sangka pada tekad
Allah SWT. Sampai suatu ketika, beliau meraih cobaan berat berbentuk
penyakit kulit yang sukar untuk disembuhkan. Keadaan berikut membuatnya
ditinggalkan oleh keluarga dan orang-orang sekitar.
Cobaan pertama yang diberikan iblis dan pembantu-pembantunya terhadap Nabi Ayub AS adalah membinasakan semua hewan ternaknya. Tak puas, mereka pun jadi membakar lahan pertanian dan lumbung-lumbung gandum milik sang nabi sampai tak bersisa.
Setelah seluruhnya habis, iblis mengira jikalau Nabi Ayub AS dapat berkeluh kesah dan menyalahkan ketetapan Allah SWT. Namun, dirinya harus menelan pil kekecewaan saat mengetahui beliau selalu taat dan berbaik sangka terhadap Allah. Sang nabi menyerahkan seluruh nya kepada Sang Pencipta gara-gara itu semua sekedar titipan yang sewaktu-waktu mampu diambil alih oleh-Nya.
Bukan iblis namanya jikalau ringan menyerah. Dia dan pasukannya ulang menguji keimanan Nabi Ayub AS bersama menggoyang-goyangkan tempat tinggal mewah yang dihuni oleh anak-anak beliau. Bangunan itu selanjutnya roboh yang mengakibatkan semua penghuninya meninggal dunia.
Iblis memahami jikalau Nabi Ayub AS amat menyayangi anak-anaknya, agar dia berpikir mungkin beliau dapat marah dan bersedih. Sayang, dugaannya salah. Sang nabi sebenarnya bersedih dan menangisi kematian buah hatinya, tapi itu tak sampai mengakibatkan beliau ingkar dan berhenti bersyukur.
Beliau selalu berkeyakinan bahwa kejadian nahas yang menimpa keluarganya adalah anggota berasal dari ketentuan-Nya. Jika Allah telah berkehendak, maka tak tersedia satu pun makhluk yang mampu menghalanginya.
0 Comments